Kamis, 28 Januari 2016

Rasa Syukur Tinggal di Bumi Khatulistiwa


Di antara tanda-tanda kekuasaanNya ialah mencipatakan langit dan bumi dan berlainan bahasa dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikian terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui (Qs Ar Rum : 22)
I Love Indonesia a lot. Saya bersyukur tinggal di negeri yang membentang sepanjang 1.919.000 km² ini. I think indonesia is a paradise. Indonesia is rich. Indonesia is famous about cultures, history, heritages, culinaries, and many more i can't talk one by one. 

Apa kamu tidak bangga tinggal di Negeri Khatulistiwa dengan jumlah pulau lebih dari 17.500 tersebut? Saya lahir di Kota Batik Pekalongan. Dari SD hingga SMA, saya menikmati atmosfer heterogenitas di kelas-kelas yang saya ikuti. Saya mengganggap keberagaman merupakan bagian dari kekayaan budaya Indonesia. saya pun menikmati setiap perbedaan yang ada. Hey, kita tidak harus menjauh dan menjarak hanya karena saya makan talas dan kamu makan sagu bukan?

Menginjak bangku kuliah, saya lebih banyak melihat rupa Indonesia yang sesungguhnya melalui Yogyakarta. Sebuah kota yang dijuluki sebagai Kota Pelajar. Kota Budaya. Yogyakarta dapat dikatakan sebagai miniatur Indonesia. Melalui Yogyakarta, saya mampu merasakan keberagaman yang membentang dari Sabang sampai Merauke.

Coba tengok bagaimana jalanan di sepanjang Malioboro setiap harinya. Lalu lalang pengunjung dari berbagai suku dan budaya. lintas daerah. Lintas negara. Denyut kehidupan terus berdetak, seirama langkah-langkah kecil para wisatawan domestik maupun mancanegara yang menawar aneka produk kerajinan lokal di sana. Pedagang yang yang mengais rejeki pun datang dari berbagai pelosok tanah air. Mencoba mencari peruntungan di Kota Gudeg. Saya melihat anekarupa kegembiraan dan semangat dari wajah-wajah mereka. Sekelompok anak muda Papua berbincang entah apa. Muda-mudi dengan logat ngapak yang khas menikmati wedhang ronde. Beberapa turis lokal berwajah sipit dan kulit putih berfoto selfie di palang bertuliskan 'Malioboro.' Barangkali mereka dari Singkawang atau Palembang. Sesederhana itu saya melihat Indonesia.

Saya ingin kedamaian selalu ada. Bersemanyam di setiap jiwa. Merupa dalam kebaikan laku dan kata.

Saya jadi teringat pengalaman beberapa waktu silam, tepatnya tanggal 18 Desember 2015 saat saya diundang oleh ICRC  (Internasional Committe of the Red Cross) di Hotel Ambhara Jakarta. ICRC merupakan organisasi internasional yang membawahi palang merah dan bulan sabit merah di seluruh dunia. Kegiatannya di bidang aksi kemanusiaan terutama saat terjadinya konflik bersenjata dan bencana. Tidak hanya itu, organisasi ini juga menjadi fasilitator, memberikan advokasi dan bantuan kemanusiaan baik berupa berupa makanan, pakaian, dan obat-obatan kepada warga sipil yang terluka akibat perang atau konflik bersenjata. Ada hal menarik selama acara tersebut berlangsung, mulai dari konsep acara, materi dari pembicara hingga band yang memberikan hiburan. Pada acara tersebut, ICRC mengangkat tema perdamaian dan antikekerasan.

Keynote speaker saat itu adalah Mas Irfan Amalee. Beliau merupakan co-founder Peace Generation sekaligus CEO Mizan Apps Publisher. Dalam presentasinya Mas Irfan berbicara mengenai Creative Campaign for Social Change. Bagaimana mengajak anak-anak muda agar menjadi agen perubahan melalui tulisan, terutama melalui media sosial dan blog. Internet layaknya pisau bermata dua. Di satu sisi dia bisa dimanfaatkan untuk hal-hal positif, di sisi lain dia bisa dijadikan sebagai alat untuk melakukan propaganda yang mengarah pada hate speech yang mengakibatkan konflik. Barangkali hal seperti ini bisa dianggap sepele, tapi nyatanya tidak. Sebab seringkali konflik-konflik berbau SARA mencuat karena penggiringan opini atau isu strategis. Di internet dan media sosial, banyak sekali situs-situs penyebar kebencian. Maka dari itu, penting sekali bagi anak muda agar menjadi influencer dan mengkampanyekan berita baik atau isu-isu positif yang memberikan banyak manfaat kepada masyarakat luas.

Jika Irfan Amalee, mengulas Creative Campaign for Social Change, maka grup band Simponii yang diundang pada hari itu membawa lagu yang mengangkat isu perdamaian dan antikekerasan. Grup musik yang terdiri dari 5 anak muda tersebut pernah meraih juara 1 di ajang Internasional Sounds of Freedom (2014) serta juara 2 dalam kompetisi Internasional Anti-Corruption Competition di Brasil tahun 2012 silam. Selain itu, Simponii pernah mendapat kesempatan mewakili Indonesia dalam Asia Pasific Enviromental Youth Forum di Korea Selatan tahun 2011 dan 2012. Prestasi anak muda yang sangat membanggakan bukan?

Berbicara mengenai perdamaian, saya jadi ingat salah satu lagu Gigi dengan judul Perdamaian. Perhatikan liriknya berikut :

Banyak yang cinta Damai, tapi perang semakin ramai. Wahai kau anak manusia, ingin damai dan sentosa. Tapi kau buat senjata biaya berjuta-juta. Banyak gedung kau dirikan, kemudian kau hancurkan. Bingung-bingung ku memikirnya.

Betapa perdamaian itu adalah sesuatu yang perlu diperjuangkan. Rasa aman bahwa negeri ini tidak terlibat konflik bersenjata seperti di negara-negara nun jauh di Timur Tengah adalah sesuatu yang patut disyukuri. Karena nikmat tidak hanya dilihat dari kekayaan dan kesehatan, tetapi juga rasa aman dan bahagia. Betapa bersyukurnya saya masih bisa melihat para pelajar dan mahasiswa belajar di balik tembok-tembok kokoh gedung sekolah atau perkuliahan. Tidak terancam roket, rudal, atau bom yang sewaktu-waktu bisa meledak seperti di Palestina, Suriah, dan Afganistan.

Saya masih bisa tersenyum melihat masih banyak anak muda Indonesia yang mengharumkan negeri. Beberapa teman organisasi yang saya kenal memiliki prestasi di tingkat internasional. Sebut saja, Adiyasa Wayan (elektronika 2011), Helda Pratama (mekatronika 2012), dan Dangin Dauh (Mekatronika 2013). Ketiganya anak teknik. Wayan dan Dangin berasal dari Bali. Jika berbicara logatnya kentara sekali. Helda ini orang asli Jogja. Jangan remehkan dua anak muda Bali ini. Wayan merupakan bagian dari tim mobil Garuda UNY yang pernah menyabet juara umum di ajang Internasional Student Green Car Competition. Dangin menciptakan aplikasi sepeda listrik dan aplikasi planedroid (pesawat mini yang dikendalikan dengan smarphone berbasis android). Helda si anak Jogja, berhasil meraih medali emas di ajang World Skill Competition 2015 di Brasil. Sekali lagi, nikmat manalagi yang kamu dustakan?

Berprestasilah. Berkaryalah. Berikan kontribusi terbaik untuk negeri.

Indahnya hidup di Indonesia. Negeri dengan beragam budaya. Melebur menjadi satu. Beda itu unik. Karena akan ada hal-hal yang menarik untuk dikaji dan dipelajari. Sebab perbedaan adalah rahmat ALLAH bagi semesta.

Terakhir saya membuat sebuah video khusus. Enjoy!!!





4 komentar:

  1. Setuju sekali dengan ini "Beda itu unik. Karena akan ada hal-hal yang menarik untuk dikaji dan dipelajari". Saya jadi makin bangga tinggal di Indonesia.

    BalasHapus
  2. Aku dulu juga kuliah di Yogyakarta... dan aku sangat menikmati kehidupanku selama di sana.

    BalasHapus
  3. Aku paling ngrasain percampuran budaya yg sebenarnya ya di Pekalongan. Smp skrg teman2ku ya Arab & China ngobrol santai aja. Hebatnya, di Pekalongan itu tidak ada yg berusaha "menetralkan" diri utk diterima dlm pergaulan, tetap dg perbedaannya masing2. Misal kalau orang Arab kami pake istilah "sebehmu" dsb. Klau Cina, ya "cicikmu". Akrab yg tak dibuat-buat krn takut SARA. Bener2 asik & santai.

    BalasHapus
  4. Betul, beda itu indah. Buktinya aku menikahi suamiku yang berbeda kelamin dengan aku hehehe.. Video nya bagus mba, itu di upload di youtube ya mba Arinta? Terus di posting di postingan?.. Satu lagi deh, cara buat nya bagaimana? Perlukah kemampuan photoshop? Hehehe gaptek nih..

    BalasHapus