Rabu, 13 April 2016

Consumer Insight : Jadilah Konsumen Cerdas!

________________________________________________________________________________
Swadesi dan Spirit Nasionalisme
________________________________________________________________________________
Berbicara mengenai aksi, saya teringat tentang gerakan dan gagasan-gagasan dari sosok sederhana pejuang humanisme di Negeri India, Mahatma Gandhi. Ah, Anda pasti pernah membaca kisah Gandhi di bangku sekolah dulu. Ahimsa, adalah salah satu gagasan Gandhi. Gagasan ini mengajurkan untuk tidak melawan kekerasan dengan kekerasan, meskipun saat itu India sedang berada di bawah cengkraman kolonial Inggris. Gandhi lebih memilih memperjuangkan kemerdekaan India melalui aksi damai, penuh cinta dan kasih sayang, alih-alih dengan kokangan senjata. 

Gagasan Gandhi lain yang menarik perhatian saya yakni Swadesi, sebuah gerakan untuk mencintai produk dalam negeri. Sebuah aksi melepas ketergantungan diri dari jerat produk impor pemerintahan kolonial. Sebuah spirit kemandirian dengan balutan nasionalisme. Swadesi dapat dikatakan sebagai aksi boikot. Sebab Bangsa India pada saat itu menghadapi tantangan berupa masuknya produk asing di negaranya, sehingga dengan kesadaran penuh mereka berupaya bertarung. Pertarungan tersebut diimplementasikan dengan mencintai dan mengonsumsi produk dalam negeri. Meskipun dengan segala keterbatasan sumberdaya yang ada pada waktu itu, gagasan Swadesi Gandhi diterima masyarakat luas.

Salah satu aksi gila dan fenomenal yang pernah Gandhi lakukan yakni menentang berlakunya undang-undang pajak garam pemerintah kolonial yang mencekik kaum jelata. Gandhi melawan. Aksi ini didukung penuh oleh rakyat India. Gandhi percaya bahwa rakyat India mampu memproduksi garam sendiri. Oleh karena itu Gandhi bersama sejumlah relawan pada tanggal 12 Maret 1930 melakukan perjalanan dari Sabarmati menuju Pantai Dandi dengan jarak tempuh sekitar 241 mil yang memakan waktu 24 hari. Sesampainya di tempat tujuan, mereka menunjukkan aksi protes dengan memproduksi langsung garam dari air laut.

Praktik swadesi yang lain, Gandhi mencanangkan gerakan politik roda pintal. Pada dasarnya, praktik imperialisme Inggris pada saat itu lebih ke politik dagang. Handels Imperialism istilahnya. Banyak barang dibawa oleh kaum industrialis barat untuk dijual ke India. India dijadikan sebagai negara pengonsumsi produk-produk mereka. Produk tekstil adalah salah satunya. Serbuan produk impor menjadikan gaya hidup konsumerisme kian meningkat di kalangan masyarakat. Ada ketakutan tersendiri dari kaum terdidik. Mengantisipasi semua itu, lagi-lagi Gandhi mengajak rakyat India melawan kekuatan industri tekstil yang ada. Sebab, mesin-mesin industri Inggris telah menggantikan posisi manusia, menciptakan ketidakberdayaan, pengangguran dan juga kemiskinan. Dengan semangat kemandirian para produsen lokal mengolah benang hingga menjadi kain dan pakaian jadi hanya berbekal mesin pintal tradisional. Setidaknya gerakan ini memberikan kesempatan dan lapangan kerja bagi kaum wanita dan orang-orang miskin. Barang-barang yang diproduksi oleh produsen lokal tersebut kemudian dikonsumsi sendiri oleh masyarakat. Pemerintah kolonial kewalahan, sebab barang-barang buatan mereka tidak laku di pasaran. Handels imperialism lumpuh. Sejarah mencatat bahwasanya praktik swadesi tersebut adalah salah satu hal yang memicu gerakan revolusioner dan kemerdekaan India.
Ilustrasi David versus Goliath. Sumber : www.linkedin.com
Gagasan dan aksi Gandhi yang antimainstream tersebut mengingatkan saya pada buku berjudul David dan Goliath (Ketika si lemah Menang Melawan Raksasa). Sebuah buku yang ditulis dengan apik oleh Malcom Gladwell. Gladwell juga menulis sebuah artikel How David Beats Goliath. Ada kutipan menarik dalam artikel tersebut "When underdogs choose not to play Goliath's rules, they win!" Tidak menuruti aturan main sang raksasa, barangkali itulah strategi kunci yang David terapkan sehingga memperoleh kemenangan. Hal yang sama pula dilakukan oleh Gandhi.

Goliath ini bisa menyerupa siapa saja, rezim otoriter yang kejam atau kesewenangan seorang pemimpin. David bisa berwujud siapa saja, tipikal orang lemah yang dengan kesabaran tinggi dan strategi cerdiknya mampu menyerang balik Goliath. Contoh Gandhi, strategi Swadesi sangat ampuh menghancurkan praktik Handels Imperialsm. Filosofi Swadesi sebenarnya memiliki makna yang sangat dalam, yakni spirit kemandirian dalam balutan nasionalisme dan rasa cinta tanah air. Gandhi memantik semangat Bangsa India agar bangkit dari keterpurukan. Melalui kisah Gandhi, Saya mendapati sebuah insight berharga tentang konsumen cerdas. It was a massive action. I just said, welcome to the era of people power!
________________________________________________________________________________
Kita dan MEA
________________________________________________________________________________
Menurut saya, bangsa yang besar tidak hanya menghormati jasa-jasa para pahlawannya, tetapi juga menghargai kreativitas dan produktivitas anak bangsa. Kisah Gandhi di atas anggap saja sebagai menu pembuka.

Bagaimana dengan Indonesia? Setiap bangsa memiliki kisah heroik dan spirit nasionalismenya masing-masing. Pun demikian dengan Indonesia. Tujuh puluh tahun tahun kita menikmati kemerdekaan. Apa yang sudah kita lakukan untuk negeri ini?

Saya tahu republik ini butuh kita. Apalagi di tengah derasnya arus globalisasi dan percaturan politik global. Sebagai sebuah catatan, menjelang akhir 2015 ada sebuah isu yang menyedot perhatian berbagai kalangan. Tidak hanya pemerintah selaku regulator dan pemangku kebijakan, tetapi juga pelaku usaha lokal, dan segenap elemen masyarakat. Isu tersebut bernama MEA atau Masyarakat Ekonomi ASEAN. Berbagai kajian dalam bentuk diskusi, seminar, lokakarya, festival, pameran produk, talkshow diadakan oleh pemerintah dan instansi terkait termasuk perguruan tinggi. Ini demi mengedukasi para pelaku usaha dan masyarakat selaku konsumen terkait persiapan Indonesia menjelang diberlakukannya MEA. Saya pun beberapa kali mendapat tawaran untuk hadir di seminar bertajuk MEA tersebut.
ASEAN Economic Community (MEA). Sumber www.hamas.co.id
MEA adalah realisasi ASEAN VISION 2020. Seperti halnya Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE), Asia Tenggara (ASEAN) ingin menjadikan kawasan ini menjadi suatu wilayah terintegrasi dan terpadu khususnya di bidang ekonomi. Kesepakatan MEA memberikan kemudahan-kemudahan dalam hal ekspor impor barang dan jasa serta harmonisasi standar produk. Kemudahan ekspor impor tersebut terwujud dengan tidak adanya hambatan-hambatan perdagangan internasional seperti pembatasan impor (kuota) serta pengenaan bea masuk dan keluar (tarif).

Ibarat sebilah pisau, MEA mampu menjadi peluang sekaligus ancaman. Kesempatan emas terbuka bagi para produsen lokal untuk unjuk gigi dengan mengekspor produk-produk andalannya di kawasan Asia Tenggara. Indonesia bisa memasarkan produk tersebut ke Malaysia, Thailand, Singapura, Filipina, dan sebagainya.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) periode Januari-Oktober 2015 neraca perdagangan sektor nonmigas Indonesia di ASEAN surplus US$ 1,6 miliar, sedangkan tahun sebelumnya defisit US$ 1,02 miliar (sumber : tempo.co). Indonesia memiliki 10 produk andalan ekspor. Produk tersebut meliputi, udang, kopi, minyak kelapa sawit, kakao, karet dan produk karet, tekstik dan produk tekstil, alas kaki, elektronika, komponen kendaraan bermotor, dan furnitur (sumber : ppei.kemendag.go.id). Untuk kawasan ASEAN sendiri produk Indonesia yang diunggulkan meliputi produk kimia, tekstil dan olahan tekstil, perhiasan, plastik, ikan dan produk ikan, rempah-rempah, udang, kulit dan produk kulit, serta kerajinan.

Bagaimana jika di era MEA Indonesia tidak mampu menyeimbangkan neraca perdagangan? Alih-alih surplus, Indonesia mengalami defisit. Apalagi dengan membanjirnya produk impor dari negeri tetangga. Bayangkan jika produk impor tersebut mengandung bahan yang membahayakan kesehatan, keamanan, dan keselamatan penggunanya. Inilah ancaman serius yang dihadapi Indonesia. Pemerintah harus mengambil langkah tegas untuk masalah ini.

Meskipun produk impor bebas melenggang masuk ke pasar Indonesia, tapi tidak semudah itu kenyataannya. Ada regulasi tertentu dan juga hambatan nontarif yang diberlakukan guna menghadang besarnya arus impor. Hambatan nontarif ini bisa saja dalam bentuk instrumen perdagangan antidumping (berlaku jika ada produk impor yang harganya lebih murah di Indonesia dibandingkan di negeri aslinya), safeguard (hak darurat membatasi impor apabila peningkatan impor menimbulkan ancaman serius terhadap industri domestik), dan antisubsidi.

Pemberlakuan standar mutu nasional merupakan strategi jitu yang mampu menahan derasnya arus impor. Ada produk tertentu yang wajib memiliki label Standar Nasional Indonesia (SNI), misalnya perangkat elektronika, ban, helm, baja, mainan anak, air dalam kemasan, baterai, kabel, kaca, semen, regulator LPG dan masih banyak lagi. Untuk produk makanan, obat-obatan, dan kosmetika wajib memiliki label dari BPOM. Jika diketahui suatu produk impor tidak memiliki label standar mutu yang ditetapkan, maka bisa saja produk tersebut disita dan diamankan oleh aparat penegak hukum dan ditarik peredarannya.

Kita sebagai konsumen memiliki pilihan. Menjadi penonton dan abai terhadap hal-hal semacam ini atau ikut bergerak memberdayakan produk dalam negeri. Dengan menggalang kekuatan bersama mampukan kita seperti Bangsa India  yang mampu memenangkan pertempuran? Saya yakin kita mampu. Sebab kita memiliki kekuatan. Be a smart people. Smart consumer.
________________________________________________________________________________
SNI dan Perlindungan Konsumen 
________________________________________________________________________________
Logo SNI (Si Rino). Sumber : www.bsn.go.id
Berbicara mengenai SNI dan perlindungan konsumen, saya memiliki 2 cerita yang cukup menarik (based on true story). Cerita pertama masih hangat dibicarakan beberapa bulan lalu. Cerita tersebut berkaitan dengan disita dan dibakarnya televisi tabung Cathode Ray Tube (CRT) milik Muhammad Kusrin yang dilakukan Kejaksaan Negeri Karanganyar. Berita tersebut sangatlah viral dan menjadi bahan pembicaraan netizen di dunia maya.

Berdasarkan kasus Kusrin, saya memiliki asumsi bahwasanya bangsa ini masih memiliki solidaritas dan spirit nasionalisme yang cukup tinggi. Buktinya banyak netizen di dunia maya yang mendukung Kusrin dengan memparaf petisi melalui platform change.org. Justru di era digital seperti sekarang ini, masyarakat lebih tertarik menggalang dukungan melalui internet. Aksi ini dapat dikatakan sebagai new era of people power. Dalam dukungan tersebut, para netizen menyayangkan kenapa karya anak bangsa tidak dihargai oleh pemerintah, alih-alih diberdayakan.

Namun, ada satu hal yang luput dari pengamatan kita semua. Ini berkaitan dengan keselamatan konsumen mengingat salah satu bahan yang dipakai Kusrin adalah tabung monitor komputer bekas. Adakah jaminan jika produk televisi rakitan Kusrin aman bagi pengguna? Adakah garansi jika produk yang dibeli mengalami kerusakan? Inilah alasan kenapa standar mutu suatu produk perlu diuji. Semua demi perlindungan konsumen.

Kasus ini sudah selesai. Karya kreatif Kusrin sudah mendapat label SNI langsung dari Menteri Perindustrian Saleh Husin. Pemerintah pun berjanji akan memberikan pelatihan dan pembinaan kepada para pelaku usaha mikro seperti Kusrin. Kusrin bermimpi agar produknya diterima masyarakat luas dan mampu menciptakan lapangan pekerjaan. Kini produk kreatif Kusrin siap bersaing di era pasar bebas ASEAN.

Kenapa SNI begitu penting? Selain memberikan jaminan keamanan dan kualitas suatu produk, adanya label SNI menjadikan brand atau produk lokal memiliki daya saing serta reputasi yang bagus di mata masyarakat. Pada dasarnya tidak semua barang atau jasa wajib SNI. Biasanya SNI wajib diberlakukan pada hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan keselamatan, keamanan, kesehatan masyarakat atau pelestarian fungsi lingkungan hidup dan pertimbangan ekonomis. Video edukasi berikut menyajikan penjelasan komprehensif mengenai manfaat dan peranan SNI bagi kita semua.



Masih berhubungan dengan SNI...

Cerita selanjutnya datang dari rekan sekaligus senior saya di organisasi Rekayasa Teknologi, Nova Suparmanto. Semenjak kuliah Nova sangat tertarik pada dunia inovasi teknologi. Bersama beberapa rekan dan dukungan dana dari Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) Dikti, Nova menciptakan inovasi kompor batik Astoetik (Auto-Electric Stove for Batik). Kompor batik ini menggunakan energi listrik untuk mencairkan malam (lilin) batik. Selain tidak menimbulkan polusi udara (ramah lingkungan), kompor batik Astoetik lebih hemat energi.
Kompor Batik Astoetik. Sumber : Nova Suparmanto
Kompor Batik Astoetik. Sumber : Nova Suparmanto
Kompor Batik Astoetik. Sumber : Nova Suparmanto
Inovasi Kompor Batik Astoetik. Sumber : Nova Suparmanto
Astoetik Packaging. Sumber : Sanggar Batik Astoetik
Membuat batik tulis menggunakan Kompor batik Astoetik. Sumber : Sanggar Batik Astoetik
Kegiatan Membatik di Sentra Batik Tulis Imogiri. Sumber : Sanggar Batik Astoetik
Workshop Batik dengan Kompor Batik Astoetik. Sumber : Sanggar Batik Astoetik
Kompor batik konvensional menggunakan minyak tanah sebagai energinya. Kelemahan dari kompor minyak tanah adalah nyala api yang kadang tidak merata di sekitar wajan. Kadang ada bagian yang nyala apinya terlalu besar, sebagian yang lain nyala apinya kecil. Nyala api bisa dipengaruhi oleh panjang pendeknya sumbu kompor tersebut. Selain itu, sisa pembakaran dari kompor konvensional menimbulkan polusi udara (tidak ramah lingkungan). Alasan-alasan ini yang membuat Nova dan rekan berinisiatif membuat kompor batik Astoetik. Nova pun memiliki kepedulian yang cukup tinggi mengenai perlindungan konsumen para perajin batik.

Berkat inovasi Astoetik, Nova mendapatkan kesempatan mentoring bisnis plus pendampingan dari Inotek (Sebuah lembaga yang bergarak di bidang pengembangan teknologi tepat guna) dan RAMP IPB. Kini Nova sedang melanjutkan studi S2 di UGM dengan mengambil konsentrasi teknik industri. Selain itu, Nova mendirikan PT Putra Multi Cipta Teknikindo dan Sanggar Batik Astoetik. Sanggar tersebut memberikan kesempatan kepada siapapun yang ingin belajar membatik.

Terakhir ketika saya tanya, apakah Astoetik sudah memiliki label SNI, Nova menjawab bahwasanya Astoetik sedang dalam proses pengajuan sertifikasi. Kita doakan semoga langkah Nova ini dipermudah. Jika sudah lolos sertifikasi, maka kompor batik Astoetik adalah kompor batik pertama di Indonesia yang memiliki label SNI.
Indonesia menetapkan tanggal 20 April sebagai Hari Konsumen Nasional (Harkornas). Menjelang Harkornas Direktorat Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tata Tertib Niaga memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk menyampaikan pengaduan dan keluhan apabila mengalami kerugian terkait penggunaan barang dan jasa yang ada. Direktorat Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tata Tertib Niaga memfasilitasi layanan pengaduan melalui Whatsapp (0853 1111 1010), email (pengaduan.konsumen@kemendag.go.id), dan juga hotline (021 3441839)

Masih banyak dari kita yang abai terhadap perlindungan konsumen. Padahal negara melalui Undang-Undang No 8 Tahun 1999 memberikan jaminan hukum pada konsumen. Salah satu isi dari undang-undang tersebut yakni konsumen harus sadar akan hak dan kewajibannya. Ada 4 hak dasar konsumen. Hak dasar tersebut meliputi : hak untuk mendapatkan keamanan, hak untuk mendapatkan informasi, hak untuk memilih, dan hak untuk didengar. Kewajiban konsumen meliputi : kewajiban mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian barang dan jasa, beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian, membayar sesuai nilai tukar yang disepakati, dan mengikuti upaya penyelesain sengketa hukum secara patut.

Konsumen cerdas setidaknya memperhatikan hak-haknya dan kewajibannya ketika membeli barang dan jasa. Kritislah, jangan mudah tergoda oleh promo iklan yang menyesatkan. Selain itu, konsumen cerdas kudu memperhatikan label kemasan dan masa kedaluwarsa, menggali informasi yang memadai mengenai keamanan dan manfaat suatu produk, terakhir utamakan membeli produk lokal yang berkualitas.

Di era MEA konsumen memiliki pengaruh signifikan terhadap eksistensi produk lokal. Selama kita bertindak sebagai konsumen cerdas, cinta produk dalam negeri, dan memiliki spirit nasionalisme yang tinggi, saya yakin Indonesia mampu memenangkan pertempuran ini. Jika diibaratkan Goliath adalah MEA, maka kita bisa menjadi David. David adalah orang yang cerdas, demi menang di arena David menggunakan strategi jitu. Indonesia butuh banyak David! We can be the winner. Letak kekuatan konsumen cerdas ada pada sinergi. Make it real, collaborate and be a new era of people power (smart consumer)!

***
Postingan ini diikutkan dalam kompetisi blog yang diadakan oleh Direktorat Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tata Niaga Kementerian Perdagangan

Referensi :
1.Direktorat Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tata Tertib Niaga (ditjenpktn.kemendag.go.id)
2. Badan Standardisasi nasional
3. Blog pribadi Nova Suparmanto (www.novasuparmanto.com)
4. Profil Kusrin, kuli bangunan yang kini punya pabrik perakitan televisi (www.rappler.com)
5. Daftar Produk Ekspor Andalan RI siapa hadapi MEA (detik.com)
6. Apa Itu MEA (selasar.com)
7. Biografi Mahatma Gandhi
8. Buku David dan Goliath (Malcom Galdwell)
9. Sanggar Batik Astoetik

8 komentar:

  1. Konsumen cerdas menurut saya adalah konsumen yang cinta akan produk dalam negeri atau produk lokal.

    Untuk membantu produk kita dalam pasar global adalah dengan kita sebagai warga negara Indonesia juga ikut memakai produk kita sendiri, karena sebenarnya produk kita tidak kalah dengan produk asing.

    Cuma kadang orang malu mengakuinya, apalagi orang yang berduit belanja aja pergi ke singapur, padahal kadang produk yg dibeli disana adalah produk dari negri kita.

    BalasHapus
  2. @Isrofi Ahmad : Benar sekali, masih banyak kok produk lokal yan berkualitas dan gak kalah keren ama produk impor. Kitanya kudu pilih-pilih dan selektif dalam mengonsumsi suatu produk...

    BalasHapus
  3. Tulisan kamu selalu kaya data dan informasi arinta. Sukses ya untuk lombanya. Layak untuk jadi pemenang :-) Good Luck!

    BalasHapus
  4. @Bunda Sulis : Makasih ya Mak :)
    Semoga AMIN!!!

    BalasHapus
  5. Tulisannya lengkaaap banget mba arinta..bicara tentang MEA membuat kita dituntut utk lebih prroduktif yak agar ngga kalah sm pekerja asing

    BalasHapus
  6. @Zalfa : Yes kita kudu produktif dan semakin kreatif dalam mengasah skill dan pengetahuan. Juga mencinta produk dalam negeri :) Cause produk lokal gak kalah sama asing

    BalasHapus
  7. mantap ini tulisannya, banyak produk dalam negeri yang sebenernya perlu kita angkat lewat media semacam blog ini nggeh mbak rinta

    BalasHapus
  8. Sayangnya banyak konsumen yang lebih memilih produk luar negri karena merknya. Padahal kan produk dalam negri juga gak kalah kualitasnya dengan yang di luar sana.

    BalasHapus