Selasa, 15 Desember 2015

EDP Project Jogja : Atasi Demam Berdarah Melalui Wolbachia

_______________________________________________________________________________
Waktu begitu cepat berlalu. Tak terasa kini sudah memasuki Bulan Desember. Sudah hampir 4 tahun lamanya saya berada di Yogyakarta, Menikmati romantisme masa-masa menjadi anak kuliahan. Bergelut dengan tugas-tugas. Banyak hal juga telah saya lalui. Jogja diguyur hujan deras Desember ini. Lapis demi lapis kumulonimbus tak ubahnya seperti gumpalan-gumpalan kapas yang terbang di langit. Terkadang menimbulkan mendung yang gelap dan pekat. Terkadang pula menjatuhkan jarum-jarum tajam dari langit. Juga petir yang menggelegar. Ah, hujan Bulan Desember. 

Hujan Bulan Desember ini mengingatkan saya pada seorang kawan yang pernah dirujuk ke RS Sardjito karena menderita demam berdarah. Kala air menderas dari langit. Menimbulkan bunyi gemerisik. Juga kecipak-kecipuk langkah-langkah kaki karena jalanan tergenang air. Menjadikan sebagian orang memilih berdiam diri di rumah. Mendekam dalam selimut. Sedangkan kawan saya ini merasakan nyeri di hampir sebagian tubuhnya. Demam hebat yang tak berkesudahan. Mimisan. Muntah-muntah disertai timbulnya bintik merah di sepanjang kulit. Saya bergidik ngeri jika teringat akan hal itu. 

Yogyakarta merupakan wilayah endemik terjangkitnya penyakit demam berdarah. Seperti dilansir sorotjogja.com, memasuki kuartal pertama di tahun 2015 ada 3 daerah yang rentan terhadap serangan DBD (Demam Berdarah Dengue).  Ketiga daerah itu adalah Kecamatan Gondokusuman, Kecamatan Tegalrejo, dan Kecamatan Ngampilan. Fitri Yulia Kusworoni selalu Kepala Dinas Kesehatan Kota Yogya menyatakan bahwa terdapat kenaikan jumlah pasien DBD yang dirawat di puskemas yang pada tahun 2014 ada 19 kasus, pada tahun 2015 naik menjadi 90 kasus. Ini baru wilayah Kota Yogya. Bagaimana dengan wilayah lain seperti Sleman dan Bantul yang juga rentan terhadap kasus ini?

Demam berdarah (demam dengue) adalah salah satu momok yang ditakuti masyarakat. Penyakit ini disebabkan oleh Virus Dengue melalui gigitan nyamuk aedes aegypti dan aedes albopictus. Demam dengue mengancam hampir 2.5 miliar penduduk bumi. Kasus tertinggi menimpa wilayah ASEAN, termasuk Indonesia. Berdasarkan data WHO (World Health Organization) setiap tahun sekitar 390 juta orang terinfeksi dengue. Sebanyak 22.000 orang terutama anak-anak dan remaja meninggal dunia. Bagaimana dengan di Indonesia? Angkanya meningkat, di mana pada tahun 2012 jumlah kasus 90.245 menjadi 105.545 kasus pada tahun 2013.

Hal umum yang dilakukan warga untuk mengantisipasi merebaknya DBD yakni dengan menjaga lingkungan agar terkondisikan bersih. Pemerintah melalui dinas kesehatan tak henti-hentinya menghimbau agar warga melakukan gerakan PSN (Pemberantasan Sarang Nyamuk) melalui aksi 3 M (Menguras, Mengubur, dan Mengubur barang bekas yang sudah tidak terpakai). Ada pula istilah ikanisasi (menempatkan ikan-ikan di bak mandi atau kolam agar ikan-ikan tersebut memakan jentik-jentik nyamuk) dan larvasidasi (membunuh larva-larva nyamuk Aedes Aegypti dengan menggunakan abate). Selain itu, ada pula tindakan fogging (pengasapan). Tempat tinggal saya yang letaknya persis di depan Fakultas Teknik UNY di mana dilalui Selokan Mataram juga tak luput dari aksi fogging tiap tahunnya.

Namun apakah cara-cara lama ini cukup efektif mengurangi kasus-kasus terkait DBD? Hey ini sudah tahun 2015! Maksud saya adakah suatu terobosan di dalam sains, terutama di bidang biologi sel & molekuler, bioteknologi dan rekayasa genetika yang mampu menciptakan suatu vaksin yang menghambat transmisi virus dengue dari nyamuk ke manusia? Membuat telur-telur nyamuk menjadi infertil misalnya? Memperpendek usia hidup nyamuk yang menjadi inang virus dengue?
Pada tanggal 1 Desember 2015, saya bersama rekan-rekan Komunitas Blogger Jogja (KBJ) mendapat undangan dari EDP (Eliminate Dengue Project) Yogyakarta untuk mengunjungi insektarium dan laboratorium diagnosis di mana terdapat fasilitas riset untuk meneliti nyamuk Aedes aegypti. Fasilitas riset ini cukup lengkap. Di dalamnya terdapat tempat penetasan telur-telur nyamuk berukuran kurang lebih 50 mikron di mana telur-telur tersebut hanya dapat dilihat melalui mikroskop elektron.
Documentation : Paulus Enggal
Fasilitas riset EDP Yogyakarta dilaksanakan di bawah naungan Pusat Kedokteran Tropis Universitas Gadjah Mada (UGM) dan didanai oleh Yayasan Tahija Jakarta (organisasi filantropi nonprofit yang bergerak di bidang pendidikan, kesehatan, dan juga pelayanan sosial). Dalam riset ini, UGM menjalin kerjasama dengan Monash University di Australia. Untuk EDP global melibatkan sejumlah negara seperti Australia, Vietnam, Brazil, Singapura, Colombia, termasuk Indonesia. Ini proyek riset prestius yang digarap serius, berbiaya mahal, melibatkan sejumlah ahli dan peneliti dari berbagai negara serta membutuhkan waktu yang tidak singkat untuk pengujiannya. 

Ada hal yang menarik dalam proyek riset ini. Ternyata para peneliti menggunakan bakteri Wolbachia untuk mengendalikan virus dengue. Ini penemuan menarik dan melibatkan multidisiplin ilmu seperti bioteknologi, virologi, bakteriologi, entomologi, dan juga biologi molekuler. Bahkan saya berusaha mencari jurnal-jurnal ilmiah terkait penelitian ini.

Tentu saja riset tentang wolbachia cukup banyak menyedot perhatian saya. Pernah mendengar Wolbachia sebelumnya? Baiklah saya akan sedikit bercerita. 
________________________________________________________________________________
Perjalanan Panjang Si Wolbachia dan Kisah Sang Profesor
________________________________________________________________________________
A lot of science involves failure, but there are also the brilliant successes, successes that can lead to new inventions, new tools, new drugs — things that can change the world (Anonim)
Terkadang kisah sukses seseorang lahir dari sebuah gagasan sederhana. Sebuah inovasi yang menghadirkan solusi. Juga perjalanan panjang yang melelahkan. Demikian pula yang dialami Profesor Scott O'Neill ketika mengupayakan penemuannya di bidang ilmu biologi. Sebuah terobosan di bidang sains yang menghadirkan solusi mengatasi virus dengue. 

Sang profesor kala itu tertarik pada bakteri Wolbachia pipiens. Bakteri ini pertama kali ditemukan di dalam tubuh nyamuk Culex pipiens pada tahun 1920. Bakteri Wolbachia terdapat di hampir 60% hingga 70% serangga seperti ngengat, lalat buah, capung, kumbang, dan nyamuk, tetapi tidak pada nyamuk jenis aedes aegypti yang merupakan inang virus dengue. 

Wolbachia dapat dikatakan sebagai bakteri parasit yang menginfeksi sistem reproduksi serangga sehingga mempengaruhi kelanjutan garis keturunan mereka. Terdapat hubungan yang cukup kompleks antara sang inang (serangga) dengan bakteri wolbachia. Reaksi infeksi bakteri ini dengan serangga terhadap garis keturunan selanjutnya pun beragam. Bakteri ini bisa menyebabkan kematian jantan yang terinfeksi, siklus atau usia hidup serangga yang pendek, ketidaknormalan reproduksi yang berujung pada kematian dini embrio. Dalam penelitiannya, Sang Profesor juga melaporkan bahwasanya wolbachia juga mampu menghentikan duplikasi virus dengue di dalam tubuh nyamuk. 

Profesor O'Neill kini menjabat sebagai dekan fakultas sains di Monash University Australia. Sebelumnya beliau menyelesaikan program doktoralnya di bidang entomologi (ilmu serangga)  di Queensland University. Beliau juga pernah bekerja di Yale Medical School sebagai ketua grup biologi yang mempelajari serangga pembawa penyakit. 

Apa yang dikerjakan oleh Profesor O'Neill di dalam labnya juga pernah tidak membawa hasil apapun. Membuatnya stress dan tertekan. Setidaknya 20 tahun hidupnya dihabiskan untuk penelitian ini. Profesor O'Neill menggunakan teknik injeksi mikro untuk menyuntikkan wolbachia dalam telur nyamuk. Saya membayangkan seberapa kecil ukuran jarum yang digunakan. Apakah pakai skala mikro atau nano? Teknologi yang digunakan pasti mengagumkan.

Rekan sejawatnya, Tom Walker menghabiskan hari demi hari di lab hanya untuk menyuntikkan wolbachia ke lebih dari 500 telur setiap harinya. Walker kemudian menunggu dengan sabar hingga telur tumbuh menjadi nyamuk dewasa dan memastikan apakah nyamuk-nyamuk dewasa tersebut terinfeksi wolbachia. Namun hasilnya nihil. Tak ada nyamuk yang di dalamnya mengandung bakteri wolbachia. Tingkat keberhasilan penelitian ini sangat rendah, ujarnya suatu ketika. Bahkan Walker telah menyuntik 18.000 telur tanpa ada tanda-tanda bahwa telur-telur tersebut di dalamnya mengandung bakteri wolbachia. Ah, kisah ini mengingatkan saya pada Thomas Alfa Edison.

Suatu ketika di tahun 2006, setelah hari-hari yang dilalui membuat jenuh dan menghilangkan semangat, kabar gembira itu akhirnya datang. Salah seorang mahasiswa O'Neill berkata bahwa dia telah berhasil menginjeksi telur, hingga telur yang mengandung bakteri wolbachia tumbuh menjadi nyamuk dewasa. Ini seperti momen eureka! Sang mahasiswa tersebut menularkan ledakan optimisme kepada Sang Profesor.
Proses ini belumlah usai. Profesor O'Neill harus menguji sampel penelitian di lapangan. Nyamuk-nyamuk yang mengandung bakteri wolbachia dilepasliarkan di daerah yang rentah terhadap DBD agar kawin dengan nyamuk setempat yang mengandung virus dengue. Tujuannya untuk mengetahui seberapa efektif pengendalian wolbachia terhadap virus dengue dan juga bagaimana hasil kawin silang dua varietas nyamuk tersebut (nyamuk aedes aegypti ber-wolbachia dengan nyamuk aedes aegypti pembawa dengue) terhadap garis keturunan selanjutnya. Tempat uji coba pertama kali dilakukan di Yorkeys Knob dan Godonvale, Queensland pada tahun 2011. Penelitian ini juga mendapat dukungan dana dari Bill and Melinda Gates Foundation
________________________________________________________________________________
Tahija Foundation dan Eliminate Dengue Project (EDP) Jogja 
________________________________________________________________________________
Jika di tingkat global proyek riset Eliminate Dengue didanai oleh Bill and Melinda Gates Foundation, di Indonesia aksi ini didukung penuh oleh organisasi filantropi Yayasan Tahija Jakarta. Seperti yang sudah saya jelaskan sebelumnya, organisasi ini bergerak di bidang sosial, kesehatan, dan pendidikan. Organisasi ini didirikan oleh Jean dan Julius Tahija pada tanggal 21 Maret 1990. Bunga Cinnamomum tahijanum (kayu manis liar) yang berasal dari Kalimantan menjadi simbol organisasi ini. Simbol  Cinnamomum tahijanum mereprentasikan empati, persamaan, dan keberagaman.

Dalam Annual Report 2014, organisasi ini melaporkan bahwa pada tahun 2013 mereka berhasil menyiapkan landasan operasional untuk pelepasan nyamuk Aedes aegypti ber-wolbachia di Yogyakarta. Pada Januari 2014, pelepasan perdana nyamuk dilakukan di Desa Kronggahan dan Nogotirto, Kabupaten Sleman. Tantangan yang dihadapi tim EDP Jogja kala itu adalah bagaimana mensosialisaikan kegiatan ini kepada masyarakat. Tantangan yang lain adalah letusan Gunung Kelud pada Bulan Februai 2014, tetapi hal ini tidak menyebabkan gangguan signiikan pada proses kegiatan pelepasan nyamuk. Pada Desember 2014, tim EDP Jogja melakukan kegiatan serupa di dua wilayah yang ada di Kabupaten Bantul.

Bahkan Sri Sultan Hamengkubuwono X memberikan dukungan penuh pada kegiatan EDP Jogja. Selain dari pemerintah daerah, komisi etik Kedokteran Universitas Gajah Mada juga memberikan feed back dan bimbingan etis terhadap kegiatan EDP Jogja. Kegiatan pelepasan nyamuk ber-wolbachia pada tahun 2014 adalah bukti keberhasilan kerjasama antara Yayasan Tahija, tim EDP dari Monash University dan Universitas Gajah Mada.
Saya sendiri sangat antusias ketika mendapat undangan dari EDP Jogja. Ini kesempatan langka! Tak semua orang bisa mendapatkan kesempatan ini. Di insektarium tersebut, saya bisa menyaksikan bagaimana telur nyamuk Aedes aegypti ber-wolbachia menetas. Tentu saja saya melihatnya dengan bantuan mikroskop elektron. Di insektarium tersebut kami berdiskusi mengenai isu DBD. Saya mendapat pemahaman baru dan juga knowledge yang berharga. Ini keren!

Indonesia juga punya ahli entomologi (ilmu serangga) lho, beliau bernama Pak Warsito Tantowijaya Ph.D. Pak Warsito inilah yang mengajak kami tour de lab dan menjelaskan proses penangkaran nyamuk-nyamuk ber-wolbachia. Sedangkan Mbak Bekti Dwi Andari, MA. selaku stakeholder engagement coordinator menjelaskan tentang nyamuk Aedes aegypti ber-wolbachia ini kepada audience melalui slide presentasi dan video singkat. Peneliti utama EDP Jogja adalah Prof. dr. Adi Utarini, MPH., Ph. D. dan peneliti pendamping dr. Riris Andono Ahmad MPH. Ph. D.

Eliminate Dengue Project Jogja juga tergabung dalam IDAMS (Internasional Research Consortium on Dengue Risk Assesment, Management, and Surveillance) yang merupakan konsorsium penelitian 8 negara di Asia dan Amerika Latin. Diharapkan, penelitian ini mampu menekan risiko dan kasus yang disebabkan oleh virus dengue. Semoga!

Yogyakarta, 15 Desember 2015

25 komentar:

  1. Satpam perumahanku sudah kena DB masuk rumah sakit.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Semoga cepet diberi kesembuhan dan semoga tidak menular ke yang lain...

      Hapus
  2. peneuh perjuangan dan kesabaran ya buat penelitian kayak o'neill.

    senengnya bisa ikutan edp jogja.
    orang indonesia juga banyak yang hebat.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hasil tak akan mengkhianati proses. Demikian yang dialami Prof. O'Neill.

      Wah iya, semoga banyak acara2 keren dari Komunitas Blogger Jogja. Mas Laksono tergabung di KBJ kah?

      Sebenarnya banyak kok orang hebat di Indonesia. :D

      Hapus
  3. Balasan
    1. Makasih Mak Prima. Wah mau nih aku seru2 bareng KBJ lagi :D

      Hapus
  4. Waw. Keren. Kayak baca dongeng ni. Hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih mbak. Hihihihi kayak baca cerpen maybe ? :D

      Hapus
  5. Thn kmarin ada yg kena DB meninggal.... Kayanya kita perlu nambah kebersihan

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah...wah...

      Iya Mbak Jiah kebersihan itu mutlak kudu dijaga. Gak bsa ditawar-tawar :D

      Hapus
  6. Waah lengkap banget.
    Pernah baca ttg Yayasan Tahija ini .. tapi lupa di mana.
    Ternyata begeraknya di bidang sosial, kesehatan, dan pendidikan, yah. Salut. Moga selalu bisa membantu banyak orang.

    BalasHapus
  7. Mantap...risetnya keren ini mah..aku sampai mengaktualisasikan bagaimanan prof o neil berjuang menyuntikkan telur..dibuat film oke nih

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya nih Mak Farida. Kayaknya kudu dibuat film oke punya pastinya.

      Hapus
  8. Waah... Keren liputannya. Iya nih bahaya. Apa lagi rumahku rawan banjir, mba

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tempatku juga rawan banjir mbak Ahliah. Yang penting jaga kebersihan rumah dan lingkungan. Itu saja yg utama :D

      Hapus
  9. semoga proyek ini sukses dan bisa berkembang ke yang lain. Menggunakan hewan biologis untuk membunuh DBD.
    Terus mbak juga seperti sebelumnya, menuliskan seseuatu lengkap dengan sumber-sumbernya. mantap

    BalasHapus
    Balasan
    1. Benar, ini cara lain mengatasi virus dengue dengan menggunakan bakteri wolbachia :D

      Hapus
  10. Itu gambarnya berguna banget.
    Kadang suka gak perhatian untuk jaga kebersihan mulai dari hal yang sederhana.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya Mbak Ratu, yang paling utama adalah jaga kebersihan lingkungan :D

      Hapus
  11. Ayo dukung penelitian ini untuk indonesia bebas dengue...

    BalasHapus